Pleaselikeme.org – Seni budaya Jawa memang tidak pernah kehilangan pesonanya. Dari gamelan hingga wayang, setiap warisan budaya memiliki cerita panjang yang sarat makna. Salah satunya adalah Tari Jawa Bedhaya Ketawang, tarian sakral yang hingga kini masih dijaga keasliannya di Keraton Kasunanan Surakarta.
Read More : Kalimantan Timur: Derawan Dan Maratua Masuk Daftar Surga Diving Dunia
Tarian ini tidak sekadar pertunjukan seni. Melainkan simbol hubungan spiritual, sejarah panjang kerajaan Jawa, hingga keyakinan masyarakat tentang hadirnya kekuatan gaib yang menyertai setiap gerakan. Lantas, apa sebenarnya makna di balik Tari Jawa Bedhaya Ketawang ini? Yuk, simak selengkapnya di bawah ini!
Sejarah Tari Jawa Bedhaya Ketawang
Setiap tarian Jawa selalu punya jejak sejarah yang menarik untuk ditelusuri. Begitu pula dengan Tari Jawa Bedhaya Ketawang. Ada dua versi asal-usul tarian ini. Versi pertama berkaitan dengan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram yang pada awal abad ke-17 mendapat inspirasi setelah mendengar suara merdu dari langit saat sedang bertapa. Suara itulah yang kemudian mengilhami lahirnya sebuah tarian sakral bernama Bedhaya Ketawang.
Versi lainnya mengaitkan tarian ini dengan kisah Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram, yang menjalin hubungan spiritual dengan Kanjeng Ratu Kidul. Konon, tarian ini melambangkan ikatan pernikahan sakral antara keduanya.
Seiring berjalannya waktu, setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi Kesultanan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Tari Jawa Bedhaya Ketawang menjadi warisan eksklusif Keraton Kasunanan Surakarta.
Makna Filosofis dalam Tarian
Bicara soal tarian sakral, tentu tidak lepas dari makna yang tersembunyi di balik setiap gerakannya. Tari Jawa Bedhaya Ketawang menggambarkan kisah cinta dan ikatan spiritual Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Gerak-geriknya yang anggun penuh filosofi tentang kesetiaan, kesucian, dan keharmonisan antara manusia dengan alam semesta.
Selain itu, tarian ini dipercaya tidak hanya dimainkan oleh sembilan penari manusia, tetapi selalu ditemani sosok penari gaib, yakni Kanjeng Ratu Kidul sebagai penari kesepuluh. Keyakinan inilah yang membuat setiap pementasan terasa begitu sakral, penuh wibawa, sekaligus menghadirkan aura mistis yang tidak bisa dijelaskan dengan logika semata.
Baca juga: Jawa Tengah: Candi Borobudur Gelar Festival Lentera Spektakuler
Pelaksanaan Tari Jawa Bedhaya Ketawang
Sebagai tarian keraton, Tari Jawa Bedhaya Ketawang tidak bisa dimainkan sembarangan. Tarian ini biasanya hanya dipentaskan saat momen-momen penting, seperti upacara penobatan raja atau peringatan naik tahta. Para penari yang terpilih harus memenuhi syarat khusus, yakni seorang gadis yang masih suci.
Bahkan, jika ada penari yang sedang haid, ia diwajibkan meminta izin khusus kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan melakukan ritual tertentu. Termasuk puasa beberapa hari sebelum pertunjukan. Dalam pelaksanaannya, tarian ini dibagi menjadi tiga babak. Alunan musik pengiringnya adalah gending Ketawang Gedhe dengan nada pelog, yang sesekali berganti menjadi slendro.
Instrumen gamelan seperti kethuk, kenong, gong, kendang, hingga kemanak menjadi bagian penting dalam menciptakan nuansa magis tarian. Tak hanya itu, tembang yang dilantunkan menggambarkan curahan hati Kanjeng Ratu Kidul kepada Panembahan Senapati, membuat suasana semakin menyentuh dan penuh makna.
Busana Penari yang Penuh Simbol
Keanggunan Tari Jawa Bedhaya Ketawang juga tercermin dari busana yang dikenakan para penarinya. Kostum mereka menyerupai pakaian pengantin Jawa, yaitu dodot ageng atau basahan. Rambut penari ditata dengan gelung boor mengkurep, sebuah gaya gelungan khas yang ukurannya lebih besar dari gaya gelung Yogyakarta.
Tata rias dan busana ini bukan sekadar hiasan, melainkan lambang kesucian, keanggunan, dan penghormatan kepada leluhur serta Kanjeng Ratu Kidul. Selain itu, setiap pernak-pernik busana memiliki arti tersendiri. Dodot ageng misalnya, melambangkan ikatan suci, sementara aksesoris lainnya menjadi simbol status tinggi dari tarian tersebut.
Dengan perpaduan musik, gerakan, dan busana, tarian ini menghadirkan pengalaman estetis sekaligus spiritual bagi siapa pun yang menyaksikannya.
Pesona Sakral yang Terus Dilestarikan
Walau zaman terus berubah, Tari Jawa Bedhaya Ketawang tetap bertahan sebagai salah satu mahakarya budaya Jawa yang penuh nilai. Keraton Kasunanan Surakarta masih menjadikannya bagian penting dalam tradisi keraton. Lebih dari sekadar hiburan, tarian ini adalah jendela untuk memahami bagaimana masyarakat Jawa memaknai hubungan manusia dengan kekuatan adikodrati, cinta, dan kesetiaan.
Bagi masyarakat umum, menyaksikan pertunjukan tarian ini ibarat merasakan perjalanan spiritual. Setiap gerakan yang anggun, iringan gamelan yang sakral, hingga keyakinan tentang hadirnya Kanjeng Ratu Kidul, semuanya menyatu menjadi sebuah pengalaman budaya yang tak terlupakan.
Kesimpulan
Sebagai warisan budaya keraton, Tari Jawa Bedhaya Ketawang bukan hanya tarian indah yang memanjakan mata, tetapi juga simbol spiritualitas dan sejarah panjang masyarakat Jawa. Dari kisah cinta Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kidul hingga ritual sakral dalam setiap pementasannya. Tarian ini memperlihatkan betapa seni dan budaya bisa menjadi media yang menghubungkan manusia dengan dunia gaib sekaligus alam semesta.
Keanggunannya yang penuh wibawa menjadikan Tari Jawa Bedhaya Ketawang tetap relevan untuk dipelajari, diapresiasi, dan dilestarikan hingga kini.